Kami banyak menerima pertanyaan mengenai sekolah kuliner di Kanada. Program kuliner akan kami fitur dalam edisi mendatang, namun sebelumnya kami juga ingin mengetahui penyebab adanya peningkatan minat dalam dunia kuliner di kalangan murid Indonesia. Memang, program kuliner juga cukup populer di Kanada. Tapi apakah minat tersebut dilatarbelakangi oleh alasan yang sama dengan di Indonesia? Untuk mengulas minat dan trend kuliner di Indonesia, kami pun menanyakannya kepada para Student Ambassadors kami.
Pernah mikir untuk jadi Chef nggak? Mungkin pernah, mungkin juga nggak. Yang jelas, sosok Chef pasti udah melekat banget di benak kita. Stereotip yang paling umum sih, Chef itu Bapak-bapak berwajah ramah dengan topi putih panjangnya yang ternyata bukan sekedar aksesoris lho. Duluuu, pernah ada insiden kecil yang diperbuat oleh koki Raja Henry VIII. Di dalam makanan Raja Henry, ada rambut dari Sang Koki! Sejak itu, setiap Koki diwajibkan memakai topi.
Dari era Raja Henry VII di Inggris, sampe SBY di Indonesia, profesi Chef nggak ada matinya. Ini juga sejalan dengan industri kuliner di Indonesia yang semakin meningkat.
Meskipun kita bukan pakar kuliner, tapi sebenarnya dampak perkembangannya sangat terasa di kehidupan sehari-hari. Sesimpel, ketika kita bingung menentukan pilihan liburan akhir pekan kita, biasanya yang muncul adalah nama Restoran-restoran atau kawasan kuliner yang cozy.
Yup! Kawasan Kuliner di Jakarta emang makin variatif. Sebut saja Kemang (dengan Kemang FoodFest-nya), Kelapa Gading maupun Ancol.
Kalo kita jeli liat peluang, industri kuliner memang sangat berkembang. Ini karena, kuliner itu bagian dari gaya hidup dan budaya manusia. Dan bisnis di bidang lyfestyle memang sedang naik daun, apalagi ditunjang dengan Mall atau Lifestyle Center (EX, Citos), yang merupakan tempat strategis untuk bisnis kuliner.
Kalo kita kepengen berkarir di dunia Kuliner, langkah awal yang bisa diambil adalah dengan ikutan Culinary School / Culinary Course. Sekarang ini, makin banyak kursus memasak di sekitar kita. Apalagi, remaja menjadi salah satu sasaran bagi kursus tersebut.
Prospek berkarir di dunia kuliner juga cerah, jika kita berkompeten. Untuk Chef biasa di kafe-kafe gaji berkisar Rp. 2.500.000,00. Sementara, untuk executive chef di hotel bintang lima, gajinya berkisar dari Rp. 25.000.000 bahkan bisa melebihi gaji General Manager Hotelnya!
Bagaimana cara agar kita bisa berkompeten di dunia kuliner? Tentu kita perlu dibekali dengan ilmu dan gelar yang memadai. Misalnya, dengan mengambil Diploma Perhotelan di Sekolah Tinggi / Akademi Pariwisata. Meskipun Mata Kuliah Kuliner tidak mendominasi dalam jurusan tersebut, tetapi peluang bekerja bagi seseorang yang berpendidikan diploma akan lebih luas, apalagi kalo kita mengincar bekerja untuk posisi tinggi atau tempat yang bergengsi. Di Kelas Tata Boga misalnya, kita bakal dibekali pengetahuan dasar tentang bahan makanan, seperti bagian-bagian sapi, cara memasak sampai ke cara penyajian yang menarik. Karena, seorang koki dituntut untuk kreatif. Koki di Hardrock Cafe misalnya, rutin menciptakan menu-menu baru setiap 6 bulan.
Dan, pilihan karir di bidang kuliner nggak sempit, antara lain:
1. Manajer Restoran
2. Koki Profesional
3. Pengusaha Katering
4. Pilihan lainnya, Food Consultant atau Pakar Kuliner.
Waah tidak tertutup kemungkinan kita bisa jadi se-famous Bondan Winarno!
Kini kegiatan masak-memasak tak lagi dipandang sebagai pekerjaan rumah tangga belaka. Tak harus para ibu melulu yang piawai meracik berbagai bumbu dan sayuran. Kesuksesan para pebisnis di bidang kuliner membuka celah baru bagi para peminat kuliner dan calon wirausahawan yang ingin bergerak di bidang makanan. Buktinya, telinga kita kini akrab sekali dengan kata-kata “Wisata Kuliner” yang dengan sendirinya membuktikan bahwa segala hal yang berhubungan dengan masak-memasak dan kuliner mendapat perhatian tersendiri di kalangan masyarakat. Beragam acara televisi dan artikel majalah berlomba-lomba membahas segala yang unik tentang kuliner. Tak heran bila peluang bisnis yang terbuka lebar bagi para wirausahawan yang ingin membuka usaha kuliner mulai berduyun-duyun untuk berkreasi menampilkan masakan yang terbaik hasil buah tangan mereka.
Bila kini banyak anak muda yang memilih culinary course atau culinary school, hal itu tidak terlepas dari perkembangan trend yang mulai booming tentang kuliner itu sendiri. Banyak anak muda -yang awalnya menganggap masak-memasak hanya sekedar hobi- mulai tergugah untuk terjun mendalami ilmu memasak secara akademis. Namun, selain dipengaruhi oleh trend itu sendiri, banyak juga yang berpandangan bahwa peluang bisnis kuliner sangat menjanjikan. Apalagi, saat ini lapangan kerja yang tersedia begitu sempit. Tingkat penggangguran pun makin menggunung. Bagi para anak muda yang bercita-cita untuk menjadi wirausahawan, culinary course bisa menjadi pilihan yang menjanjikan.
Selain itu, ada juga anak muda yang memang menyukai kegiatan memasak dan memandangnya sebagai suatu kegiatan seni. Seni adalah sesuatu yang memiliki nilai keindahan (estetika) dan dapat dinikmati banyak orang. Berangkat dari pemahaman inilah, banyak anak muda yang ingin mempelajari bagaimana cara menyajikan masakan yang tertata indah dengan aroma sekaligus rasa yang sedap. Ada pula yang memang ingin berkreasi menciptakan masakan yang unik dan menggugah selera. Tak hanya itu saja, motivasi untuk membahagiakan orang melalui masakannya, bisa menjadi salah satu faktor pendorong para anak muda yang ingin mendalami dunia kuliner.
Trend masak-memasak ini pun tidak terlepas dari pergeseran nilai budaya yang berhubungan dengan gender. Bila dulu dapur selalu diidentikkan dengan pekerjaan perempuan (dan hal ini malah diidealisasikan dan dikonstruksi secara sosial), kini telah berubah haluan seiring dengan pergeseran nilai tersebut. Pekerjaan rumah tangga yakni masak-memasak tak hanya menjadi milik perempuan lagi. Lelaki pun tak sedikit yang tertarik dengan kegiatan memasak.
Bisnis Properti (2 )"Indonesia Sudah Kebal Krisis"
Sekarang banyak kalangan yang khawatir dan bertanya-tanya akankah dampak krisis finansial global yang terjadi saat ini akan terulang kembali seperti yang pernah kita alami bersama sepuluh tahun lalu ketika krisis moneter menghancurkan perekonomian Indonesia.
Sebenarnya pertanyaan semacam ini telah terlontar lima tahun lalu ketika ekspansi bisnis properti di negeri kita ini begitu bergelora. Pembangunan ruko, apartemen, mal,dan pusat perbelanjaan tak lagi hanya berlangsung di Jakarta, tetapi sudah menjalar ke seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia.
Nah, sekarang pertanyaan yang sama muncul kembali ketika krisis finansial global yang diawali dari Amerika Serikat menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sangatlah sulit untuk meyakinkan semua orang, apa pun jawaban yang kita berikan. Namun, sangatlah mudah untuk mengatakan bahwa dampak krisis finansial global saat ini tidak akan mengguncang perekonomian negara kita, apalagi menghancurkannya seperti yang terjadi tahun 1998. Mengapa demikian? Karena, situasi dan kondisi sosial ekonomi dan politik di negara kita saat ini amatlah berbeda bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.
Krisis yang terjadi pada saat itu (tahun 1998) adalah puncak dari sebuah perjalanan sejarah bangsa dengan politik yang sangat sentralistik dan tertutup. Belum lagi perekonomian yang sangat bergantung pada utang luar negeri, baik pemerintah maupun pihak swasta.
Dikendalikan pengusaha
Saat itu bank-bank swasta yang dimiliki para konglomerat dan bank-bank pemerintah yang dikendalikan pengusaha yang dekat dengan penguasa begitu berambisi membangun bisnis propertinya yang bersifat jangka panjang dan ditopang dengan dana bank yang bersifat jangka pendek.
Kalangan perbankan pun jorjoran mengucurkan dananya untuk membiayai proyek-proyek properti skala besar alias megaproyek. Ketika itu para bankir demikian agresif menyalurkan kredit ke sektor properti, pengawasan dari Bank Indonesia juga masih sangat lemah. Para bankir leluasa mengucurkan dana pihak ketiga untuk membiayai proyek-proyek properti yang digarap oleh kelompok usahanya sendiri.
Waktu itu, praktik pelanggaran legal lending limit (batas maksimum pemberian kredit- BMPK) dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Ketika perekonomian nasional sedang sehat, melaju kencang di atas 7 persen per tahun, semua borok-borok itu bisa ditutupi. Toh, ada juga beberapa bank yang ”jebol” karena melakukan pelanggaran yang ”kebangetan”.
Ambruknya Bank Summa (1991), Bank Pacific (1995), dan Bank BHS (1997) menunjukkan betapa berbahaya dan besarnya dampak negatif yang muncul dari ”perselingkuhan” perbankan dan pengembang. Maka, ketika krisis mata uang yang terjadi di Thailand yang berawal dari ekspansi bisnis properti lalu menjalar ke Indonesia, tersungkurlah bank pemerintah dan swasta yang sangat getol membiayai bisnis properti waktu itu.
Para pengembang yang tadinya berkibar-kibar dengan sederet proyek kebanggaannya langsung tersungkur. Mereka bangkrut karena tidak kuat lagi menanggung beban utang yang tiba-tiba menggunung seiring dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Para pengembang pun ramai-ramai masuk ruang gawat darurat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Semua pengembang papan atas menjadi pasien BPPN.
Namun, pada 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai kembali menggarap bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak yang baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pascakrisis.
Kapitalisasi proyek properti
Sejak tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi bisnis properti Rp 91,01 triliun. Atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang ”hanya” Rp 9,51 triliun.
Pertumbuhan bisnis properti yang sangat fantastis itu tak terbendung lagi oleh gonjang-ganjing politik (pelaksanaan Pemilu 2004) dan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bahkan sebanyak enam kali terjadi sejak tahun 2004.
Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dampak krisis finansial global itu terhadap bisnis properti Indonesia saat ini? Memang harus diakui sedikit banyak krisis finansial yang melanda dunia saat ini pastilah berdampak pada bisnis properti di Indonesia.
Bayangkan, di tengah krisis subprime mortgage di AS, yang pengaruh negatifnya langsung ditransmisikan ke negara-negara lain, seperti kawasan Eropa, Kanada, Australia, Hongkong, dan Singapura, bisnis properti nasional sama sekali tak terpengaruh. Harga properti yang berguguran di negara-negara lain sama sekali tidak terjadi di Indonesia.
Nah, dampak negatif yang berembus dari krisis subprime mortgage di AS dan kenaikan harga BBM yang sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah terasa secara global, yakni berupa peningkatan laju inflasi yang sangat signifikan, bahkan merupakan laju inflasi tertinggi yang terjadi dalam 25 tahun terakhir.
Di Singapura, misalnya, yang perekonomiannya terkenal stabil dengan laju inflasi tahunan yang rata-rata cuma 2,5 persen, tahun ini diperkirakan inflasinya akan melonjak hingga 7,8 persen. Begitu pula di Malaysia, yang laju inflasinya hanya sekitar 3 persen, tahun ini akan menembus 7 persen. Adapun Australia yang laju inflasinya rata-rata hanya sekitar 4 persen tahun ini akan mencapai 7,5 persen.
Namun, jika menyimak nilai kapitalisasi proyek properti nasional sebagaimana terlihat pada tabel, tampak bahwa sejak tahun 2003 sektor properti di Indonesia dengan nilai Rp 50,7 triliun bertumbuh secara konsisten menjadi Rp 77,4 triliun hampir tidak mengenal masa resesi. Yang terjadi adalah, dari tahun ke tahun, sektor properti Indonesia bergerak dari booming yang satu ke booming yang lain. Bisnis properti Indonesia bergerak dari puncak gunung yang satu ke puncak gunung yang lain tanpa pernah tergelincir ke lembah.
Ekspansi bisnis properti pascakrisis tahun 2003 hingga 2008, kredit properti yang dipakai pengembang mencapai Rp 186,3 triliun, (lihat tabel) sebagian besar atau 64 persen senilai Rp 119 triliun adalah kredit pemilikan rumah (KPR). Sementara kredit konstruksi dan kredit real estat hanya mencapai 36 persen, masing-masing 21,9 persen atau senilai Rp 40,8 triliun adalah kredit konstruksi dan 14,22 persen atau Rp 26,5 triliun adalah kredit real estat.
Konsumen semakin pandai memilih proyek-proyek properti yang akan dibelinya dengan menyeleksi pengembang yang sudah teruji lolos dari krisis. Mereka semakin pintar untuk memilah pengembang yang kredibel dan memilih proyek yang sesuai dengan kemampuan ekonominya.
Mereka membeli sesuai dengan kebutuhannya. Tidak banyak konsumen yang menebar uang di banyak proyek properti sebagai ajang spekulasi. Mereka juga lebih berhati-hati dalam memilih proyek properti, dengan melihat bagaimana track record pengembangnya.
Kenapa sektor properti Indonesia tidak terpengaruh? Kenapa bisnis properti nasional seakan- akan begitu tangguh? Sekali lagi, hal ini merupakan anomali yang sulit dijelaskan. Ya, benar-benar merupakan ketidaklaziman dalam dinamika bisnis properti nasional.
Soalnya, pada masa lalu, ketika krisis moneter menerjang kawasan Asia, yang dimulai dari Thailand, justru Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya dibandingkan dengan negara lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Dan, sektor properti Indonesia terperosok paling dalam ke kubangan krisis, di samping sektor keuangan dan perbankan.
Nah, dalam situasi krisis global yang terjadi belakangan ini, bisnis properti di Indonesia seakan- akan kebal dari penyakit ekonomi yang mengkhawatirkan banyak negara itu. Padahal, ketimbang negara lain, seperti Singapura, China, dan Uni Emirat Arab, bisnis properti Indonesia relatif masih tertutup bagi investor asing.
Tak pernah kehabisan
Para pengembang di Indonesia seperti tidak pernah kehabisan ”amunisi” untuk terus mengguyur pasar properti nasional dengan berbagai proyeknya. Buktinya, hanya dalam tempo dua tahun (2007-2009), tidak kurang dari 33.000 unit rumah susun sederhana milik (rusunami) diluncurkan para pengembang. Jika harga rusunami itu rata-rata Rp 175 juta per unit, nilai kapitalisasi dari proyek rusunami saja mencapai Rp 5,7 triliun.
Yang lebih fantastis, para pengembang juga terus merancang berbagai megaproyek properti lewat superblok. Pada masa mendatang, ekonomi Indonesia diperkirakan akan melaju rata-rata 7-9 persen per tahun, persis seperti sebelum terjadi krisis ekonomi. Indikasinya tampak jelas dari kinerja ekspor yang semakin mantap hingga menembus 100 miliar dollar AS tahun 2007.
Meski laju inflasi tahun 2008 akan cukup tinggi, yakni mencapai sekitar 12 persen, akibat kenaikan harga komoditas pangan internasional dan penyesuaian harga BBM di pasar domestik, pemerintah, Bank Indonesia, dan kalangan perbankan pada umumnya merasa sangat yakin bahwa laju inflasi akan kembali mereda pada tahun 2009, turun lagi ke level 6 persen-6,5 persen.
Nah, hal itulah yang membuat para pengembang sama sekali tak merasa ragu untuk terus meluncurkan proyek-proyek propertinya. Dengan demikian, bisnis properti yang terus bergairah sejak tahun 2002 akan menemukan momentum untuk mencapai booming pada tahun 2010-2011.
Fenomena seperti itu benar- benar merupakan sebuah anomali dalam sejarah bisnis properti Indonesia, bahkan dunia. Sebab, di mana pun juga tidak ada sebuah sektor ekonomi yang mampu terus-menerus selama satu dekade. Selalu ada proses alamiah yang membuat suatu usaha berkembang, lalu jeda sesaat atau melemah, untuk kemudian tumbuh lagi.
Salah satu faktor yang membuat para pengembang se- makin bersemangat membangun proyek-proyek propertinya adalah keyakinan bahwa pemerintah baru pada tahun 2009 akan membuat kebijakan terobosan. Salah satunya adalah membuka akses yang lebih luas bagi investor asing untuk masuk ke bisnis properti nasional.
Tak heran jika para pengembang terus meluncurkan proyek-proyek properti terpadu yang sangat prestisius, seperti StMoritz dengan nilai investasi Rp 11 triliun, Kemang Village (Rp 12 triliun), Ciputra Mall (Rp 14 triliun), Kuningan City (Rp 6 triliun), Kota Casablanca (Rp 7 triliun), Gandaria City (Rp 6,5 triliun), dan Tangerang City (Rp. 4,4 triliun).
Semua proyek properti itu seakan-akan merupakan antisipasi para pengembang menyambut hadirnya investor asing ke bisnis properti nasional pada kurun waktu 2009 dan seterusnya. Nah, jika semua skenario yang dipaparkan di atas terjadi, booming properti pada tahun 2010-2011 bukan hal yang mustahil terjadi.
Karena sikapnya yang sangat ”fanatik” terhadap properti sebagai instrumen investasi, para pengembang dari mancanegara pun semakin banyak yang menawarkan proyek-proyek propertinya ke Indonesia, seperti yang dilakukan para pengembang dari Singapura, Malaysia, Kanada, dan Australia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pengembang dari AS juga gencar menawarkan proyek-proyek properti di New York dan California. Sumber Panangian Simanungkalit
Sebenarnya pertanyaan semacam ini telah terlontar lima tahun lalu ketika ekspansi bisnis properti di negeri kita ini begitu bergelora. Pembangunan ruko, apartemen, mal,dan pusat perbelanjaan tak lagi hanya berlangsung di Jakarta, tetapi sudah menjalar ke seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia.
Nah, sekarang pertanyaan yang sama muncul kembali ketika krisis finansial global yang diawali dari Amerika Serikat menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sangatlah sulit untuk meyakinkan semua orang, apa pun jawaban yang kita berikan. Namun, sangatlah mudah untuk mengatakan bahwa dampak krisis finansial global saat ini tidak akan mengguncang perekonomian negara kita, apalagi menghancurkannya seperti yang terjadi tahun 1998. Mengapa demikian? Karena, situasi dan kondisi sosial ekonomi dan politik di negara kita saat ini amatlah berbeda bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.
Krisis yang terjadi pada saat itu (tahun 1998) adalah puncak dari sebuah perjalanan sejarah bangsa dengan politik yang sangat sentralistik dan tertutup. Belum lagi perekonomian yang sangat bergantung pada utang luar negeri, baik pemerintah maupun pihak swasta.
Dikendalikan pengusaha
Saat itu bank-bank swasta yang dimiliki para konglomerat dan bank-bank pemerintah yang dikendalikan pengusaha yang dekat dengan penguasa begitu berambisi membangun bisnis propertinya yang bersifat jangka panjang dan ditopang dengan dana bank yang bersifat jangka pendek.
Kalangan perbankan pun jorjoran mengucurkan dananya untuk membiayai proyek-proyek properti skala besar alias megaproyek. Ketika itu para bankir demikian agresif menyalurkan kredit ke sektor properti, pengawasan dari Bank Indonesia juga masih sangat lemah. Para bankir leluasa mengucurkan dana pihak ketiga untuk membiayai proyek-proyek properti yang digarap oleh kelompok usahanya sendiri.
Waktu itu, praktik pelanggaran legal lending limit (batas maksimum pemberian kredit- BMPK) dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Ketika perekonomian nasional sedang sehat, melaju kencang di atas 7 persen per tahun, semua borok-borok itu bisa ditutupi. Toh, ada juga beberapa bank yang ”jebol” karena melakukan pelanggaran yang ”kebangetan”.
Ambruknya Bank Summa (1991), Bank Pacific (1995), dan Bank BHS (1997) menunjukkan betapa berbahaya dan besarnya dampak negatif yang muncul dari ”perselingkuhan” perbankan dan pengembang. Maka, ketika krisis mata uang yang terjadi di Thailand yang berawal dari ekspansi bisnis properti lalu menjalar ke Indonesia, tersungkurlah bank pemerintah dan swasta yang sangat getol membiayai bisnis properti waktu itu.
Para pengembang yang tadinya berkibar-kibar dengan sederet proyek kebanggaannya langsung tersungkur. Mereka bangkrut karena tidak kuat lagi menanggung beban utang yang tiba-tiba menggunung seiring dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Para pengembang pun ramai-ramai masuk ruang gawat darurat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Semua pengembang papan atas menjadi pasien BPPN.
Namun, pada 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai kembali menggarap bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak yang baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pascakrisis.
Kapitalisasi proyek properti
Sejak tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi bisnis properti Rp 91,01 triliun. Atau meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang ”hanya” Rp 9,51 triliun.
Pertumbuhan bisnis properti yang sangat fantastis itu tak terbendung lagi oleh gonjang-ganjing politik (pelaksanaan Pemilu 2004) dan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bahkan sebanyak enam kali terjadi sejak tahun 2004.
Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dampak krisis finansial global itu terhadap bisnis properti Indonesia saat ini? Memang harus diakui sedikit banyak krisis finansial yang melanda dunia saat ini pastilah berdampak pada bisnis properti di Indonesia.
Bayangkan, di tengah krisis subprime mortgage di AS, yang pengaruh negatifnya langsung ditransmisikan ke negara-negara lain, seperti kawasan Eropa, Kanada, Australia, Hongkong, dan Singapura, bisnis properti nasional sama sekali tak terpengaruh. Harga properti yang berguguran di negara-negara lain sama sekali tidak terjadi di Indonesia.
Nah, dampak negatif yang berembus dari krisis subprime mortgage di AS dan kenaikan harga BBM yang sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah terasa secara global, yakni berupa peningkatan laju inflasi yang sangat signifikan, bahkan merupakan laju inflasi tertinggi yang terjadi dalam 25 tahun terakhir.
Di Singapura, misalnya, yang perekonomiannya terkenal stabil dengan laju inflasi tahunan yang rata-rata cuma 2,5 persen, tahun ini diperkirakan inflasinya akan melonjak hingga 7,8 persen. Begitu pula di Malaysia, yang laju inflasinya hanya sekitar 3 persen, tahun ini akan menembus 7 persen. Adapun Australia yang laju inflasinya rata-rata hanya sekitar 4 persen tahun ini akan mencapai 7,5 persen.
Namun, jika menyimak nilai kapitalisasi proyek properti nasional sebagaimana terlihat pada tabel, tampak bahwa sejak tahun 2003 sektor properti di Indonesia dengan nilai Rp 50,7 triliun bertumbuh secara konsisten menjadi Rp 77,4 triliun hampir tidak mengenal masa resesi. Yang terjadi adalah, dari tahun ke tahun, sektor properti Indonesia bergerak dari booming yang satu ke booming yang lain. Bisnis properti Indonesia bergerak dari puncak gunung yang satu ke puncak gunung yang lain tanpa pernah tergelincir ke lembah.
Ekspansi bisnis properti pascakrisis tahun 2003 hingga 2008, kredit properti yang dipakai pengembang mencapai Rp 186,3 triliun, (lihat tabel) sebagian besar atau 64 persen senilai Rp 119 triliun adalah kredit pemilikan rumah (KPR). Sementara kredit konstruksi dan kredit real estat hanya mencapai 36 persen, masing-masing 21,9 persen atau senilai Rp 40,8 triliun adalah kredit konstruksi dan 14,22 persen atau Rp 26,5 triliun adalah kredit real estat.
Konsumen semakin pandai memilih proyek-proyek properti yang akan dibelinya dengan menyeleksi pengembang yang sudah teruji lolos dari krisis. Mereka semakin pintar untuk memilah pengembang yang kredibel dan memilih proyek yang sesuai dengan kemampuan ekonominya.
Mereka membeli sesuai dengan kebutuhannya. Tidak banyak konsumen yang menebar uang di banyak proyek properti sebagai ajang spekulasi. Mereka juga lebih berhati-hati dalam memilih proyek properti, dengan melihat bagaimana track record pengembangnya.
Kenapa sektor properti Indonesia tidak terpengaruh? Kenapa bisnis properti nasional seakan- akan begitu tangguh? Sekali lagi, hal ini merupakan anomali yang sulit dijelaskan. Ya, benar-benar merupakan ketidaklaziman dalam dinamika bisnis properti nasional.
Soalnya, pada masa lalu, ketika krisis moneter menerjang kawasan Asia, yang dimulai dari Thailand, justru Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya dibandingkan dengan negara lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Dan, sektor properti Indonesia terperosok paling dalam ke kubangan krisis, di samping sektor keuangan dan perbankan.
Nah, dalam situasi krisis global yang terjadi belakangan ini, bisnis properti di Indonesia seakan- akan kebal dari penyakit ekonomi yang mengkhawatirkan banyak negara itu. Padahal, ketimbang negara lain, seperti Singapura, China, dan Uni Emirat Arab, bisnis properti Indonesia relatif masih tertutup bagi investor asing.
Tak pernah kehabisan
Para pengembang di Indonesia seperti tidak pernah kehabisan ”amunisi” untuk terus mengguyur pasar properti nasional dengan berbagai proyeknya. Buktinya, hanya dalam tempo dua tahun (2007-2009), tidak kurang dari 33.000 unit rumah susun sederhana milik (rusunami) diluncurkan para pengembang. Jika harga rusunami itu rata-rata Rp 175 juta per unit, nilai kapitalisasi dari proyek rusunami saja mencapai Rp 5,7 triliun.
Yang lebih fantastis, para pengembang juga terus merancang berbagai megaproyek properti lewat superblok. Pada masa mendatang, ekonomi Indonesia diperkirakan akan melaju rata-rata 7-9 persen per tahun, persis seperti sebelum terjadi krisis ekonomi. Indikasinya tampak jelas dari kinerja ekspor yang semakin mantap hingga menembus 100 miliar dollar AS tahun 2007.
Meski laju inflasi tahun 2008 akan cukup tinggi, yakni mencapai sekitar 12 persen, akibat kenaikan harga komoditas pangan internasional dan penyesuaian harga BBM di pasar domestik, pemerintah, Bank Indonesia, dan kalangan perbankan pada umumnya merasa sangat yakin bahwa laju inflasi akan kembali mereda pada tahun 2009, turun lagi ke level 6 persen-6,5 persen.
Nah, hal itulah yang membuat para pengembang sama sekali tak merasa ragu untuk terus meluncurkan proyek-proyek propertinya. Dengan demikian, bisnis properti yang terus bergairah sejak tahun 2002 akan menemukan momentum untuk mencapai booming pada tahun 2010-2011.
Fenomena seperti itu benar- benar merupakan sebuah anomali dalam sejarah bisnis properti Indonesia, bahkan dunia. Sebab, di mana pun juga tidak ada sebuah sektor ekonomi yang mampu terus-menerus selama satu dekade. Selalu ada proses alamiah yang membuat suatu usaha berkembang, lalu jeda sesaat atau melemah, untuk kemudian tumbuh lagi.
Salah satu faktor yang membuat para pengembang se- makin bersemangat membangun proyek-proyek propertinya adalah keyakinan bahwa pemerintah baru pada tahun 2009 akan membuat kebijakan terobosan. Salah satunya adalah membuka akses yang lebih luas bagi investor asing untuk masuk ke bisnis properti nasional.
Tak heran jika para pengembang terus meluncurkan proyek-proyek properti terpadu yang sangat prestisius, seperti StMoritz dengan nilai investasi Rp 11 triliun, Kemang Village (Rp 12 triliun), Ciputra Mall (Rp 14 triliun), Kuningan City (Rp 6 triliun), Kota Casablanca (Rp 7 triliun), Gandaria City (Rp 6,5 triliun), dan Tangerang City (Rp. 4,4 triliun).
Semua proyek properti itu seakan-akan merupakan antisipasi para pengembang menyambut hadirnya investor asing ke bisnis properti nasional pada kurun waktu 2009 dan seterusnya. Nah, jika semua skenario yang dipaparkan di atas terjadi, booming properti pada tahun 2010-2011 bukan hal yang mustahil terjadi.
Karena sikapnya yang sangat ”fanatik” terhadap properti sebagai instrumen investasi, para pengembang dari mancanegara pun semakin banyak yang menawarkan proyek-proyek propertinya ke Indonesia, seperti yang dilakukan para pengembang dari Singapura, Malaysia, Kanada, dan Australia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pengembang dari AS juga gencar menawarkan proyek-proyek properti di New York dan California. Sumber Panangian Simanungkalit
Kemenangan Sejati
" Kemenangan sejati bukan diukur dengan kemampuan mengalahkan orang lain, melainkan dinilai dari bagaimana kita mampu memberdayakan potensi yang kita miliki, untuk mencapai prestasi terbaik melampaui standar yang kita tetapkan."
Kisah tentang seekor belalang dan seekor anjing dibawah ini adalah awal yang tepat untuk menjadi kendaraan pemahaman kita dalam memulai tulisan ini. Dikisahkan dalam sebuah perjalanan, seekor belalang bertemu dengan seekor anjing yang sombong. Anjing ini menyombongkan diri kepada belalang kecil dengan mengatakan bahwa tidak ada satupun binatang yang mampu mengalahkan lompatannya di wilayah ini. Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati si belalang kecil ini. Kemudian belalang kecil ini berani menantang si anjing, bahwa dia bisa mengalahkan lompatan si anjing dengan syarat standar ukuran kemenangannya sesuai dengan standar yang ditetapkannya.
“Apakah kamu berani melayani tantangan saya ?”, demikian kata si belalang. “Kita berlomba melompat di tempat setinggi-tingginya dan pemenangnya diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, melainkan dinilai dari berapa kali tinggi lompatan yang dilakukan dibanding tinggi tubuhnya”.
Anjing menerima tantangan belalang ini. Kemudian Anjing mendapatkan kesempatan mencoba melompat yang pertama. Hasilnya, ia ternyata berhasil melompat setinggi 2 meter atau sekitar sepuluh kali tinggi tubuhnya. Berikutnya giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi seperempat dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Siapakah pemenangnya dalam perlombaan ini ? Tentu saja pemenangnya adalah si belalang kecil. Ia mampu melompat setinggi 40 kali dari tinggi tubuhnya dibandingkan si anjing yang hanya 10 kali dari tinggi tubuhnya.
Sahabat, pada dasarnya dalam kehidupan ini setiap orang bisa menjadi pemenang, kalau ukuran kemenangannya dinilai berdasarkan standar potensi yang dimilikinya. Kemenangan sejati sesungguhnya dinilai dari seberapa besar usaha yang telah kita lakukan berdasarkan potensi yang kita miliki untuk mencapai prestasi yang terbaik. Demikian juga dalam pekerjaan, hidup dan bisnis, Anda dan saya memiliki potensi masing-masing yang dapat ditingkatkan untuk mencapai prestasi kemenangan tertinggi sesuai standar yang kita tetapkan. Ukuran keberhasilan tidak selalu membandingkan dengan orang lain, melainkan dapat dinilai dari seberapa besar potensi yang telah kita miliki untuk mencapai prestasi terbaik kita. Maka membandingkan ukuran keberhasilan diri kita dengan pencapain kesuksesan orang lain adalah tidak bijaksana.
Kemenangan sejati sesungguhnya adalah bagaimana kita telah memberdayakan potensi kemampuan kita untuk meraih prestasi yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam kesehatan, kekayaan hati, kekayaan spiritual, kekayaan materi, keberhasilan prestasi kerja dan prestasi bisnis, dalam hal kemajuan dalam kehidupan keluarga, maupun memberikan konstribusi kebaikan bagi sesama dan kehidupan.
Marilah kita bertanya kedalam diri kita sendiri:
- Apakah hari ini saya sudah melakukan sesuatu yang lebih baik dibandingkan hari kemarin ?
- Apakah bulan ini saya sudah meraih prestasi lebih baik dibandingkan bulan lalu ?
- Apakah tahun ini sudah meraih prestasi lebih meningkat dibandingkan tahun lalu ?
Tentu saja ukurannya jangan hanya dinilai dari pencapain materi dunaiwi semata, melainkan dapat dinilai dari peningkatan kekayaan spiritual dalam diri kita. Ukurannya bisa, Apakah sudah lebih bijaksana, apakah sudah lebih meningkat dalam kehidupan spiritual, dalam kehidupan karier dan pekerjaan, dalam kehidupan bisnis, dalam pergaulan dan kemasyarakatan ? Apakah sudah meningkat dalam memberikan konstribusi dan manfaat kepada orang lain, dalam memberikan bantuan dan manfaat kebaikan bagi orang lain ? Dan tentu saja masih banyak lagi standar ukuran sesuai dengan potensi yang kita miliki.
Kisah tentang seekor belalang dan seekor anjing dibawah ini adalah awal yang tepat untuk menjadi kendaraan pemahaman kita dalam memulai tulisan ini. Dikisahkan dalam sebuah perjalanan, seekor belalang bertemu dengan seekor anjing yang sombong. Anjing ini menyombongkan diri kepada belalang kecil dengan mengatakan bahwa tidak ada satupun binatang yang mampu mengalahkan lompatannya di wilayah ini. Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati si belalang kecil ini. Kemudian belalang kecil ini berani menantang si anjing, bahwa dia bisa mengalahkan lompatan si anjing dengan syarat standar ukuran kemenangannya sesuai dengan standar yang ditetapkannya.
“Apakah kamu berani melayani tantangan saya ?”, demikian kata si belalang. “Kita berlomba melompat di tempat setinggi-tingginya dan pemenangnya diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, melainkan dinilai dari berapa kali tinggi lompatan yang dilakukan dibanding tinggi tubuhnya”.
Anjing menerima tantangan belalang ini. Kemudian Anjing mendapatkan kesempatan mencoba melompat yang pertama. Hasilnya, ia ternyata berhasil melompat setinggi 2 meter atau sekitar sepuluh kali tinggi tubuhnya. Berikutnya giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi seperempat dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Siapakah pemenangnya dalam perlombaan ini ? Tentu saja pemenangnya adalah si belalang kecil. Ia mampu melompat setinggi 40 kali dari tinggi tubuhnya dibandingkan si anjing yang hanya 10 kali dari tinggi tubuhnya.
Sahabat, pada dasarnya dalam kehidupan ini setiap orang bisa menjadi pemenang, kalau ukuran kemenangannya dinilai berdasarkan standar potensi yang dimilikinya. Kemenangan sejati sesungguhnya dinilai dari seberapa besar usaha yang telah kita lakukan berdasarkan potensi yang kita miliki untuk mencapai prestasi yang terbaik. Demikian juga dalam pekerjaan, hidup dan bisnis, Anda dan saya memiliki potensi masing-masing yang dapat ditingkatkan untuk mencapai prestasi kemenangan tertinggi sesuai standar yang kita tetapkan. Ukuran keberhasilan tidak selalu membandingkan dengan orang lain, melainkan dapat dinilai dari seberapa besar potensi yang telah kita miliki untuk mencapai prestasi terbaik kita. Maka membandingkan ukuran keberhasilan diri kita dengan pencapain kesuksesan orang lain adalah tidak bijaksana.
Kemenangan sejati sesungguhnya adalah bagaimana kita telah memberdayakan potensi kemampuan kita untuk meraih prestasi yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam kesehatan, kekayaan hati, kekayaan spiritual, kekayaan materi, keberhasilan prestasi kerja dan prestasi bisnis, dalam hal kemajuan dalam kehidupan keluarga, maupun memberikan konstribusi kebaikan bagi sesama dan kehidupan.
Marilah kita bertanya kedalam diri kita sendiri:
- Apakah hari ini saya sudah melakukan sesuatu yang lebih baik dibandingkan hari kemarin ?
- Apakah bulan ini saya sudah meraih prestasi lebih baik dibandingkan bulan lalu ?
- Apakah tahun ini sudah meraih prestasi lebih meningkat dibandingkan tahun lalu ?
Tentu saja ukurannya jangan hanya dinilai dari pencapain materi dunaiwi semata, melainkan dapat dinilai dari peningkatan kekayaan spiritual dalam diri kita. Ukurannya bisa, Apakah sudah lebih bijaksana, apakah sudah lebih meningkat dalam kehidupan spiritual, dalam kehidupan karier dan pekerjaan, dalam kehidupan bisnis, dalam pergaulan dan kemasyarakatan ? Apakah sudah meningkat dalam memberikan konstribusi dan manfaat kepada orang lain, dalam memberikan bantuan dan manfaat kebaikan bagi orang lain ? Dan tentu saja masih banyak lagi standar ukuran sesuai dengan potensi yang kita miliki.
Langganan:
Postingan (Atom)